Australia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia

Australia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia

Diplomat Australia Tom Critchley AO CBE, yang kemudian dianugerahi Bintang Jasa Utama bertemu Presiden di Yogyakarta, 7 Desember 1948.

Diplomat Australia Tom Critchley AO CBE, yang kemudian dianugerahi Bintang Jasa Utama bertemu Presiden di Yogyakarta, 7 Desember 1948.

Pada 17 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Indonesia, Sukarno dan Mohammad Hatta, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun, butuh lebih dari empat tahun negosiasi diplomatik dan ada kalanya terjadi pertempuran sengit sebelum Republik Indonesia akhirnya memperoleh kemerdekaannya dari Belanda pada Desember 1949.

Pada 20 Juli 1947, Belanda mengabaikan negosiasi dengan para pemimpin nasionalis Indonesia dan meluncurkan serangan militer yang direncanakan dengan hati-hati terhadap Republik di Jawa dan Sumatera.

Sepuluh hari kemudian, Australia mengambil langkah diplomatik yang krusial dan merujuk konflik di Indonesia kepada Dewan Keamanan PBB sebagai pelanggaran terhadap perdamaian berdasarkan Pasal 39 (Bab VII) Piagam PBB.

Langkah itu memiliki hasil langsung. Tindakan Australia mendorong Inggris dan Amerika Serikat, meskipun dengan enggan, untuk mengambil sikap terhadap sekutu Eropa mereka, Belanda. Dewan Keamanan memerintahkan gencatan senjata pada 1 Agustus 1947 dan membentuk Komite Jasa Baik untuk menengahi perjanjian gencatan senjata di Indonesia dan membantu Belanda dan Republik Indonesia untuk mencapai kesepakatan politik sebagai dasar untuk kemerdekaan Indonesia.

Republik Indonesia menominasikan Australia untuk duduk bersama kandidat dari Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat dalam Komite ini. Wakil-wakil Australia dalam Komite, Hakim Richard Kirby dan Tom Critchley, melakukan sebanyak yang mereka bisa untuk membuat Perjanjian Gencatan Senjata Renville Januari 1948 adil bagi Republik.

Meskipun Republik menerima rencana Critchley sebagai dasar untuk negosiasi, Belanda menolak untuk melakukannya. Setelah sekali lagi memutuskan perundingan, Belanda melancarkan serangan militer kedua terhadap Republik pada bulan Desember 1948.

Frustrasi dengan respons internasional yang agak lemah terhadap serangan Belanda kedua, Australia berpartisipasi dalam sebuah Konferensi Asia yang diadakan oleh Perdana Menteri India, Nehru, di New Delhi guna menggalang dukungan regional untuk Republik Indonesia.

Demonstrasi solidaritas regional yang belum pernah terjadi sebelumnya di New Delhi tidak diragukan lagi membantu mayoritas anggota di Dewan Keamanan untuk menyetujui pada 28 Januari 1949 untuk memerintahkan pemulihan Pemerintah Republik yang dipenjara ke ibukotanya, Yogyakarta, dan untuk dimulainya kembali perundingan antara Pemerintah ini dan Belanda.

Sebagai tanggapan, Belanda menyusun rencana, dinamai atas pencetusnya Louis Beel, yang berusaha untuk memindahkan kedaulatan - tanpa terlebih dahulu mengembalikan Republik - kepada pemerintah federal Indonesia yang akan mereka buat dan yang akan mereka kontrol secara tidak langsung.

Australia bekerja secara aktif menentang Beel Plan. Mereka berusaha menekan Belanda untuk mengembalikan Republik Indonesia - yang tanpanya tidak akan ada perundingan sejati untuk kemerdekaan Indonesia - dan bahkan mengancam akan membawa masalah tersebut ke Majelis Umum PBB. Menanggapi tekanan internasional, kepala negosiator Belanda di Batavia, J.H. van Roijen mencapai kesepakatan pada 7 Mei 1949 dengan delegasi Republik yang dipimpin oleh Mohammad Roem dan dibantu oleh Tom Critchley dari Australia.

Di bawah perjanjian ini, Republik setuju untuk menghentikan permusuhan terhadap tentara Belanda dan Belanda setuju untuk mengembalikan Pemerintah Republik ke Yogyakarta; dan pada 5 Juli 1949, Sukarno dan Hatta kembali dengan kemenangan.

Setelah Perjanjian Roem-Van Roijen, dari Agustus hingga November 1949, Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang terdiri dari delegasi Belanda, Republik Indonesia, dan negara-negara Indonesia federal yang disponsori Belanda, semuanya dibantu oleh Komisi PBB untuk Indonesia yang telah disusun kembali.

Tugas Konferensi adalah untuk menegosiasikan pengalihan kedaulatan kepada Negara federal Indonesia, yang setelah negosiasi yang kuat berakhir pada 27 Desember 1949, ketika Belanda mengalihkan kedaulatan ke Republik Indonesia Serikat. Pada hari yang sama, Pemerintah Australia mengakui negara baru tersebut, membantu mewujudkan salah satu keberhasilan pertama PBB dan diplomasi regional: mengakhiri pertempuran di kepulauan Indonesia dan mewujudkan anggota baru dan hebat dari komunitas dunia.